Kesehatan mental sekarang banyak dibicarakan, tapi ada satu tren yang perlu kita waspadai: self-diagnose. Banyak orang yang asal mendiagnosis diri sendiri hanya dengan modal info dari Google. Seru, tapi juga berisiko! Yuk, kita ngobrol tentang dampaknya dan bagaimana cara mengenali kondisi mentalmu tanpa sembarangan.
Tidak seperti dulu yang jarang diperbincangkan, kini kesehatan mental menjadi trend di masyarakat. Banyak orang yang mulai sadar dengan isu yang satu itu. Namun, trend kesehatan mental tersebut juga dibarengi dengan trend self-diagnose. Parahnya, self-diagnose tersebut dilakukan hanya dengan bermodalkan Google!
Self-diagnose adalah tindakan mengklaim atau mendiagnosis diri sendiri berdasarkan informasi yang diperoleh, tanpa meminta saran dari ahlinya. Biasanya, orang yang melakukan self-diagnose adalah mereka yang sedang berada dalam kondisi tersebut. Karena mereka merasakan kondisi tertentu dan menemukan ciri-ciri yang sama di Google, mereka dengan seenaknya mendiagnosis diri sendiri menggunakan informasi tersebut.
Apakah trend semacam itu merugikan? Jelas, dong! Dengan mendiagnosis diri sendiri, itu akan berpengaruh ke kondisi mentalmu. Misalnya, kamu mempunyai ciri-ciri yang sama dengan penderita gangguan mental berat. Akhirnya, kamu mendiagnosis dirimu mengidap gangguan tersebut. Padahal, sebenarnya kamu hanya mengidap stres biasa, tidak sampai menjurus ke gangguan mental.
Akhirnya, kamu merasa stres karena memikirkannya terus-menerus. Bukankah itu justru memperparah kondisimu? Supaya kamu nggak sembarangan dalam memahami kondisimu, kami mencoba memberimu pemahaman tentang seberapa buruknya self-diagnose itu.
Memang, saat ini teknologi menjadi penolong untuk kita. Contohnya adalah penggunaan Google yang bisa menjadi jawaban untuk berbagai pertanyaan kita. Namun, bukan berarti apa-apa harus mengandalkan Google, kan? Capek sedikit, Google. Sakit sedikit, Google. Stres sedikit, Google.
Memang nggak boleh, ya, kita bergantung ke Google? Tentu, dong! Apalagi kalau kamu sedang merasa banyak pikiran, stres, dan kalut. Google mungkin bisa memberikanmu jawaban, tapi apakah itu jawaban yang benar-benar valid dan sesuai kondisimu?
Faktanya, banyak orang yang mencari tahu kondisi mereka menggunakan Google. Misalnya, mencari artikel di Google dengan menuliskan kata kunci seperti “apakah benar kalau malas bangun tidur merupakan gejala depresi?” Apakah kamu pernah melakukan hal yang sama? Jika iya, kamu perlu memahami bahwa itu adalah hal yang salah.
Tindakanmu untuk mencari informasi di Google terkait kondisimu itu adalah tindakan self-diagnose. Self-diagnose adalah tindakan yang tidak boleh dilakukan karena tidak dapat dipertanggung jawabkan secara medis atau tidak evidence-based medicine.
Penyebab utama kenapa orang-orang suka self-diagnose adalah karena banyaknya informasi yang bisa diakses dengan mudah. Ya, mau tidak mau, teknologi berperan dalam kasus ini. Namun, informasi-informasi yang kamu dapatkan di internet tidak semuanya didasarkan pada bukti ilmiah yang valid.
Di sisi lain, banyaknya informasi tersebut diimbangi dengan pengetahuan terkait mental illness. Jadi, orang-orang langsung percaya begitu saja dengan informasi yang diterima.
Faktor lainnya adalah orang-orang masih takut untuk datang ke psikiater atau psikolog. Itu karena masyarakat kita masih menganggap bahwa masalah kesehatan mental adalah hal tabu. Rasa ingin tahu dan trend meromantisasi kesehatan mental di kalangan anak muda juga menjadi penyebabnya.
Akhirnya? Tentu saja, self-diagnose jadi jalan keluarnya. Padahal, self-diagnose nggak bikin kamu keren sama sekali. Self-diagnose justru menunjukkan bahwa kamu tidak mau membenahi dirimu dengan cara yang benar. Alih-alih memutuskan untuk datang ke profesional, kebanyakan orang-orang yang melakukan self-diagnose justru bangga dan mengumbar hasil penemuan terkait kondisi mereka di Google.
Padahal, para penyintas mental illness yang sudah sering ke psikiater atau psikolog saja jarang yang mengumbar kondisinya. Itu karena mereka paham bahwa berbicara tentang kesehatan mental nggak bisa sembarangan. Mereka juga tahu kalau kondisi mereka nggak sebercanda itu.
Tidak pernah ada sisi positif dari self-diagnose. Kalau kamu masih ‘ngeyel’ untuk melakukannya, berarti kamu harus tahu bahaya-bahaya self-diagnose ini.
Menurut APA (American Psychiatric Association), melakukan self-diagnose bisa memicu kondisi serius lainnya. Namun, kalau kamu tidak percaya dengan pernyataan tersebut dan masih tetap melakukan self-diagnose, maka jangan salahkan siapa-siapa kalau kamu mendapatkan tiga risiko terburuk ini.
Self-diagnose benar-benar ‘haram’ dilakukan. Agar kamu tidak sampai melakukan self-diagnose atau berhenti melakukannya, kamu bisa mengikuti tips ini.
Sudah paham, kan, dengan semua risiko atau bahaya self-diagnose? Masih mau melakukannya? Berhenti sekarang, deh! Beneran, itu nggak akan pernah menolongmu atau membuatmu jadi lebih baik. Sebaliknya, justru itu akan memperburuk kondisimu yang memang sudah buruk.
Jadi, kalau kamu merasa sedang nggak baik-baik saja, beranikan diri untuk datang ke psikiater atau psikolog. Jangan dengarkan omongan orang-orang yang suka bilang kalau “pergi ke psikolog atau psikiater tuh cuma dilakukan sama orang gila.” Nggak! Itu sama sekali nggak benar.
Kamu berhak, kok, untuk menyembuhkan dirimu. Kamu berhak, kok, untuk meminta tolong. Kamu juga berhak untuk mendapatkan pengobatan dan terapi yang terbaik.
Jangan dipendam sendiri. Jangan dipikirkan sendiri. Mendiagnosis diri sendiri menandakan bahwa kamu jahat ke dirimu sendiri. Menyembuhkan dirimu menandakan bahwa kamu mencintai dirimu sendiri.
Nah, agar kamu tetap jadi manusia yang waras dan nggak suka self-diagnose, kamu bisa mulai menonton video-video kesehatan mental di Youtube Healthink. Melalui video itu, kamu bisa memperoleh informasi tentang kesehatan mental dari ahlinya. Dari sana, kamu akan paham kalau mendatangi ahli kejiwaan lebih baik dibandingkan self-diagnose.
Follow juga akun sosial media Healthink dan dapatkan konten kesehatan mental yang menarik di sana. Kalau kamu merasa relate dengan konten-konten itu, segera datang ke psikolog atau psikiater dan mulailah berani untuk heal your think, think your health.
Terbaru